MORFOLOGI DAN DAUR HIDUP
Strongyloides stercoralis atau cacing
benang adalah sejenis cacing yang halus yang dapat menyerang dinding alat-alat
pencernaan
Cacing jantan dapat tumbuh dengan panjang hanya sekitar
0,9 mm, sedangkan cacing betina dapat tumbuh dengan panjang 2,0-2,5 mm. Kedua
jenis kelamin juga memiliki kapsul bukal kecil dan kerongkongan silindris tanpa
bohlam posterior. Males can be distinguished from
their female counterparts by two structures: the spicules and gubernaculum.
Cacing jantan dapat dibedakan dari cacing betina oleh dua struktur yaitu
spikula dan gubernaculum. Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagi parasit
di vilus duodenum dan jejenum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, dan
tidak berwarna.
Cara berkembang biak S. stercoralis is autoinfection. Stercoralis diduga secara partenogenesis. Telur
bentuk parasitik diletakkan dimukosa usus kemudian telur tersebut menetas
menjadi larva rabditiform yang masuk kedalam rongga usus serta dikeluarkan
bersama tinja. Parasit ini memiliki tiga daur hidup yaitu:
Siklus
langsung
Setelah
2 sampai 3 hari di tanahlarfa rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16
mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan
bentuk infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila larva filaform menembus
kulit manusia, larva tumbuh masuk kedalam peredaran darah vena dan melalui
jantung kanan dan sampai ke paru-paru. Dari paru, parasit yang mulai menjadi
dewasa menembus alveolus masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring
terjadi reflek batuk sehingga parasit tertelan, kemudian masuk ke usus halus
bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan
kira-kira 28 hari sesudah infeksi. Siklus langsung sering terjadi di
negri-negri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk
parasit tersebut.
Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung larva rabditioform
ditanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk
bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing
betina berukuran 1mm x 0,04 mm., mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah
spikulum. Sesudah pembuahan cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva
rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva
filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes baru, atau larva rabditiform
tersebut juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsungini terjadi
bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negri-negri tropik
dengan iklim lembab.
Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva
filariform diusus atau daerah sekitar anus. Misalnya pada pasien yang menderita
obstipasi lama sehingga bentuk rabditiform sempat berubah menjadi filariform
pada usus. Pada penderita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan,
bentuk rabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat
disekitar dubur.
Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka
terjadi suatu daur perkembangan didalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat
menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup didaerah
non-endemik.
PATOFISIOLOGI
Bila larfa filariform dalam
jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang disertai rasa
gatal yang hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus. Infeksi ringan dengan
Strongiloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak
menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti menusuk
nusuk didaerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Pada strongiloidiasis
mungkin terjadi autoinfeksi atau hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa
ditemukan pada seluruh traktus digestifus dan larvanya dapat ditemukan pada berbagai
alat dalam (paru, hati, kantung empedu) sering ditemukan pada orang yang mengalami
gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.
5. EPIDEMIOLOGI
Strongyloides
stercoralis memiliki
prevalensi sangat rendah dalam masyarakt yaang tanahnya terkontaminasi atau
jarang air. dapat
ditemukan di daerah dengan iklim tropis dan subtropis. Tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah tanah gembur, berpasir, dan humus. Strongyloidiasis pertama kali dijelaskan pada abad XIX
di Perancis, saat prajurit pulang dari ekspedisi di Indocina. Saat ini, negara-negara Indocina lama (Vietnam,
Kamboja dan Laos) masih memiliki strongyloidiasis endemik, prevalensi khas 10%
atau kurang. Kawasan dari Jepang memiliki strongyloidiasis endemik, tetapi
program pengendalian penyakit telah dieliminasi. Strongyloidiasis tampaknya memiliki prevalensi tinggi di
beberapa daerah di Brazil
dan Amerika Tengah.
Strongyloidiasis adalah endemik di Afrika, tetapi prevalensinya biasanya rendah
(1% atau kurang).
Di kepulauan Pasifik strongyloidiasis jarang walaupun ada laporan kasus dari Fiji . Di Australia tropis, beberapa pedesaan dan terpencil Australia Aborigin masyarakat memiliki
prevalensi tinggi sangat strongyloidiasis . Di beberapa negara
Afrika (misalnya, Zaire) S. fuelleborni
lebih umum daripada S. stercoralis dalam survei parasit dari
tahun 1970-an, namun status saat ini tidak diketahui. Di New Guinea Papua, S.
stercoralis
adalah endemik, tetapi prevalensi rendah. Namun, di
beberapa daerah lain spesies, S. kellyi, adalah parasit
yang sangat umum anak-anak di dataran tinggi PNG dan Provinsi Barat. Pengetahuan tentang distribusi
geografis dari strongyloidiasis adalah penting untuk wisatawan yang mungkin
memperoleh parasit selama mereka tinggal di daerah endemik.
GEJALA
KIMIA DAN DIAGNOSIS
Banyak orang yang terinfeksi biasanya gejala pada awalnya penderita mengeluh
karena serangan diare yang berkala, sembelit, berkurangnya berat badan, perasaan
mual, muntah-muntah, demam dan batuk-batuk, rasa nyeri di atas hati yang
menyatakan adanya radang hati. Jika
parasit mencapai paru-paru, dada mungkin merasa seolah-olah terbakar, dan mengi
dan batuk dapat juga menimbulkan gejala pneumonia ( 's syndrome Löffler ).
PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan:
Perbaikan sanitasi (pembuangan tinja),
mempraktekkan kebersihan yang baik (cuci tangan), dll, sebelum rejimen obat
diberikan. Pakailah alat-alat yang menyehatkan untuk pembuangan
kotoran manusia, pakailah sepatu waktu bekerja di kebun rawatlah penderita yang sudah terkena penyakit tersebut

Tidak ada komentar:
Posting Komentar